Minggu, 24 Januari 2016

Danau Tempe Sengkang

Danau Tempe adalah salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan yang banyak dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Danau yang luasnya sekitar 13.000 hektar ini, jika dilihat dari ketinggian tampak bagaikan sebuah baskom raksasa. Danau ini menjadi sumber penghidupan, mencari  ikan, tidak hanya bagi masyarakat Kabupaten Wajo, tapi juga sebagian masyarakat Kabupaten Soppeng dan Sidrap. Disepanjang tepi danau, tampak perkampungan  nelayan bernuansa Bugis berjejer menghadap ke arah danau.

Danau Tempe merupakan penghasil ikan air tawar  terbesar di dunia, karena dasar danau ini menyimpan banyak sumber makanan ikan. Selain itu, danau ini juga memiliki spesies ikan tawar yang tidak dapat ditemui di tempat lain. Hal ini diperkirakan karena letak danau ini berada tepat di  atas lempengan Benua Australia  dan Asia.

Ditengah-tengah Danau Tempe, tampak ratusan rumah terapung milik nelayan yang berjejer dengan dihiasi bendera yang  berwarna-warni. Dari atas rumah terapung itu, wisatawan dapat menyaksikan terbit dan terbenamnya matahari di satu posisi yang sama, serta menyaksikan beragam satwa burung, bunga-bungaan, dan rumput air yang terapung di atas permukaan air. Di malam hari, para pengunjung  dapat menyaksikan indahnya rembulan yang menerangi Danau 

Tempe sambil memancing ikan.



Di setiap tanggal 23 Agustus diadakan festival danau atau juga sering disebut Maccera Tappareng (mensucikan danau) yang ditandai dengan pemotongan sapi yang dipimpin oleh ketua nelayan setempat(Macoa Tappareng). Dalam acara ini, para pengunjung dapat menyaksikan berbagai atraksi wisata yang sangat menarik, seperti lomba perahu tradisional, perahu hias,permainan rakyat (misalnya, lomba layangan/mammerak), pemilihan anak dara (gadis) dan kallolona (pemuda) Tanah Wajo, mappadendang (menabuh lesung),pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh para bissu, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya. Pelaksanaan festival ini dimaksudkan agar nuansa kekeluargaan dan persatuan antar sesama nelayan tetap terjaga dengan prinsip 3-S, yaitu Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi (saling menyegani, saling menasehati, dan saling menghargai). Dengan menyaksikan festival ini,para pengujung dapat mengetahui tentang kebudayaan masyarakat Bugis di Sulawesi  Selatan, khususnya Bugis Wajo.



Danau Tempe terletak di Kecamatan Tempe, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Danau ini terletak 7 km dari Kota Sengkang, ibukota  Kabupaten Wajo.Untuk mencapai tempat ini, dari Kota Sengkang ke Sungai Walennae dapat ditempuh melalui jalur darat dengan menggunakan mobil pete-pete(mikrolet). Dari Sungai Walennae menuju ke Danau Tempe ditempuh selama 30 menit  dengan menggunakan perahu motor atau katinting, dengan biaya sekitar Rp.  50.000 hingga Rp. 75.000 per orang.



Rumah Adat Atakkae Sengkang (SaoRaja La Tenri Bali)

Kompleks rumah adat Attakkae berada di pinggiran Danau Lampulung, kelurahan Attakkae Kecamatan Tempe sekitar 3 kilometer sebelah timur kota Sengkang. Kawasan ini merupakan gambaran sebuah perkampungan Bugis dimana terdapat duplikat rumah tradisional yang di himpun dari berbagai kecamatan sehingga kawasan ini representatif sebagai tempat pelaksaan pameran, seminar, dan atraksi budaya dan permainan rakyat.

Hal yang cukup menarik dalam kawasan ini adalah adanya Rumah adat yang cukup besar yang di juluki istana Saoraja La Tenribali, salah seorang Raja Arung Matowa Wajo. Rumah adat ini memiliki tiang kayu Ulin sebanyak 101 buah yang sengaja di datangkan dari Kalimantan. Setiap tiang beratnya 2 ton, dengan lingkaran 1,45 meter. Garis tengah 0,45 meter dengan tinggi dari tanah ke loteng 8,10 m. Bangunan ini mempunyai ukuran panjang 42,20 meter, dan lebar 21 meter, dan tinggi bubungan 15 meter.

Kawasan ini cocok untuk tempat pameran, arena camping, sirkuit balapan dan sebagainya. Tarif sewa bervariasi. Untuk sewa rumah adat Latenri Bali cukup Rp. 100.000 per malam. Untuk sewa kawasan yang bagus digunakan untuk area perkemahan sebesar Rp. 200.000 per hari. Bagi wisatawan yang ingin menginap di rumah kecamatan tarifnya Rp. 50.000. Untuk yang ingin mengadakan event balapan tarifnya Rp. 2.500.000 per hari. Sedangkan untuk karcis masuk hanya Rp. 1.000 per orang.


Sabtu, 23 Januari 2016

Tentang Kabupaten Wajo

BELAJARLAH MENCAPAI WAJO

Bangsa kita dianggap memiliki kebiasaaan negatif seperti pemalas, tidak bermental baja, gampang diadu domba, mental jajahan, konsumtif, tak percaya diri dll. Sejumlah analis kehilangan akal untuk menjawab Apakah sesungguhnya yang mampui merubah kebiasaan itu.
Sesungguhnya banyak contoh suku bangsa kita yang menolak pasrah. Bugis , di sulawesi selatan miliki tradisi kuat melawan Hal yang tidak jelas dan Hal yang tidak dipahami. jangan pasrah pada Anu temmanessae sibawa Anu tenripahangnge.
Masyarakat Bugis masa lalu percaya, prilaku pemimpin, sistem dan etos (pendorong kualitas) akan menentukan kondisi kehidupan dan kebiasaan baru mereka. Menurut tradisi bugis, “Lele buluu tellele abiasang, naekia lelemoo abiasangengnge, abiasang toopa palelei“. Artinya Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah, namun kebiasaan dapat berpindah jika kebiasaan pula yang memindahkannya.

Pendorong kualitas utama manusia Bugis yang disebut juga “sulapa’ eppa’” (segi empat). Keempat kualitas atau sifat merupakan modalitas yang harus dimiliki setiap pemimpin. panrita (bijak dan jujur), warani (berani), macca (cerdas) dan sugi (kaya).
Seperti halnya konsep resi, batara guru dll, Sejarah Bugis memberi peran kuat pada kelompoc cerdik cendikia sebagai motor perubahan. mereka disebut to-panrita.Kelompok manusia jujur dan cerdas di berbagai bidang yang dikonsentrasikan dan menghasilkan produk dari mulai sistem sosial/hukum sampai pada teknologi transportasi, bangunan, pertahanan dll.
Menurut Matulada, “Kualitas dan kapasitas utama to-panrita bisa disimpulkan daripaseng (petuah) Ma’danrengngè ri Majauleng yang bernama La Tenritau: “Aja’ nasalaiko acca sibawa lempu” (Milikilah kecerdasan dan kejujuran kapan saja). Yang dimaksud La Tenritau dengan acca adalah kemampuan mengerjakan semua pekerjaan dan menjawab semua pertanyaan serta kecakapan berkata-kata baik, logis dan lemah lembut sehingga menimbulkan kesan baik pada orang lain. Sementara lempu’ adalah pola pikir dan prilaku yang selalu benar, tabiat baik dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Esa”
Tidak heran jika pernah ada peradaban idaman yang sangat maju saat Kerajaan Wajo miklki filosof dan cendekia besar yang legendaris bernama La Tiringeng yang memberikan fondasi kuat berkembangnya peradaban. Di antara sekian banyak petuah, ada satu hal yang jika kita tarik ke level negara masih relevan yaitu, “Napoallebirengngi to Wajoè, maradèkaè, na malempu, na mapaccing ri gau’ salaè, marèso mappalaong, na maparekki ri warang-paranna”. Artinya Orang Wajo mulia karena mereka memiliki kebebasan, kejujuran, kesucian dari prilaku buruk, kerajinan bekerja, dan memelihara harta benda.
Puncaknya Peradaban hebat Wajo saat dipimpin Arung Matoa Wajo ke-4 Puang Ri Maggalatung yang juga brilyan, salah satu faktor penting yang membawa Wajo mencapai puncak adalah harmoni antara penguasa (Puang Ri Maggalatung) dan cendekiawan atau to-panrita.
Menurut beberapa kisah, di era Puang Ri Maggalatung yang benar-benar berdaulat, kuat dan disegani. Ada prinsip yang menggema dan menggambarkan hebatnya peradaban wajo; “Maradèka to Wajo’è, najajiang alèna maradèka, tanaèmi ata, naia to makkètanaè maradèka maneng, ade’ assamaturusennami napopuang.”. ArtinyaOrang Wajo itu merdeka dan dilahirkan merdeka. Hanya tanah yang menjadi budak sementara manusia yang hidup di atasnya adalah merdeka.
Digambarkan oleh beberapa sejarawan berdasarkan penelitian naskah-naskah, di Era gemilang ini sampai mampu memberikan jaminan pada yang masih belum muncul ke dunia. para bayi-bayi yang belum terlahir sudah diurus dan bukan lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya. Kebijakan Puang Ri Maggalatung disebutkan “Ri laleng tampu’ mupi namaradèka to Wajo’è.”. artinya Bahkan semenjak masih dalam kandungan, orang-orang Wajo sudah merdeka
Menariknya. Bugis memiliki tradisi pencatatan yang luar biasa dan sudah mengenal berbagai ilmu pengetahuan seperti yang terkumpul dalam ribuan naskah berbagai bentuk. Seperti Ribuan naskah Sunda, jawa dll yang menggambarkan dahsyatnya produk budaya kaum cendeikia. Puluhan ribu naskah para cendekia tidak mungkin hasil karya sedikit orang. Kita bisa berhipotesa kaum cendikia juga ada dalam jumlah besar.
Sebagaimana konsep Resi ratu dan datu di peradaban sundaland (hipotesa), Bugis juga bisa disimpulkan memang istimewa. jauh sebelum eropa punya sistem pemerintahan demokrasi yang tertata paska feodalisme, Wajo sudah pernah sukses mempraktekkannya. Mekanisme check and balance sebagai ciri utama demokrasi sudah lebih dulu ditempuh peradaban Wajo. Berbeda dengan feodalisme turun temurun, Wajo miliki raja atau pemimpin yang disebut arung matoa Wajo bukan diwarisan tetapi dipilih oleh Arung Patappuloe [40 bangsawan utama], lembaga semacam DPR).
Mengingat kebesaran Bugis, yang menjadi persepsi kini adalah berpetualang ke mana-mana, mendiami areal dekat pantai, transportasi perahu dan posturnya macho. Dimana bangunan berpilar yang menjadi tradisi bangunan hebatnya. Sebuah buku menyebutnya pilar bugis sepanjang masa.